Sabtu, Maret 21, 2009

Indikator Keberhasilan Pembangunan Kesehatan Ibu dan Anak

BAB I
PENDAHULUAN


Strategi Pembangunan Kesehatan menuju indonesia sehat 2010 mengisyaratkan bahwa pembangunan kesehatan ditujukan pada upaya menyehatkan bangsa. Indikator keberhasilannya antara lain ditentukan oleh angka mortalitas dan morbiditas, angka kematian ibu dan angka kematian bayi.
Data UNDP tahun 2001 mencatat bahwa indeks Pembangunan Manusia (Human Development Indexs) Di Indonesia masih menempati urutan ke 102 dari 162 negara. Tingkat Pendidikan, pendapatan serta kesehatan penduduk Indonesia belum memuaskan.
Peranan keberhasilan pembangunan kesehatan sangat menentukan tercapainya tujuan pembangunan nasional, karena dalam rangka menghadapi makin ketatnya persaingan pada era globalisasi, pendidik yang sehat akan menunjang keberhasilan program pendidikan dan juga akan mendorong peningkatan produktivitas dan pendapatan penduduk.
Visi Indonesia sehat 2010 yang telah ditetapkan sebagai gambaran prediksi atau harapan tentang keadaan masyarakat pada tahun 2010, haruslah dapat diwujudkan dan dilaksanakan secara berkesinambungan. Untuk itu rencana pembangunan kesehatan menuju Indonesia sehat 2010 telah disusun oleh Departement Kesehatan bersama sama dengan lintas sektor, perguruan tinggi, LSM, dan organisasi profesi yang selanjutnya akan digunakan sebagai acuan program kesehatan dalam mengembangkan rencana strategis untuk mencapai indikator keberhasilan pembangunan kesehatan yang telah ditetapkan.
Salah satu indikator keberhasilannya adalah perilaku hidup sehat yang didefinisikan sebagai perilaku proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah resiko terjadinya penyakit, melindungi diri dari ancaman penyakit, serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan masyarakat. Apabila dicermati perilaku hidup sehat melekat pada masing-masing program kesehatan prioritas seperti KIA, gizi, imunisasi, kesehatan lingkungan, gaya hidup dan JKPM. Situasi ini dapat memberi peluang tapi juga hambatan bagi penanggungjawab program untuk dapat mencapai target perubahan perilaku bila dilakukan sendiri-sendiri atau dibebankan pada satu program sektor saja. Karena masalah-masalah kesehatan dipengaruhi oleh banyak faktor seperti sosial budaya, ekonomi, pendidikan dan lain-lain. Ditambah lagi pada era disentralisasi dimana setiap daerah mempunyai permasalahan kesehatan lokal spesifik yang juga mempunyai aspek perilaku yang perlu ditangani secara lokal.


BAB II
PEMBAHASAN


Kesehatan merupakan salah satu indikator kesejahteraan penduduk sekaligus indikator keberhasilan program pembangunan. Kesehatan berimplikasi pada produktifitas perorangan dan kelompok, sehingga pembangunan dan berbagai upaya di bidang kesehatan diharapkan dapat menjangkau semua lapisan masyarakat serta tidak diskriminatif dalam pelaksanaannya, program di bidang kesehatan untuk laki-laki dan perempuan haruslah sama. Berdasarkan UU No.23/1992 tujuan pembangunan kesehatan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan yang tinggi. Salah satu program pemerintah dalam mewujudkan derajat kesehatan bagi seluruh penduduk adalah peningkatan pelayanan kesehatan yang didukung oleh sarana dan prasarana kesehatan yang memadai di tiap kecamatan. Selain itu, hal pokok yang juga harus diperhatikan adalah perluasan akses kesehatan, khususnya kepada rakyat miskin dan perempuan di seluruh kelurahan.
Akses merupakan hal yang sangat terkait dengan isu gender. Derajat kesehatan perempuan secara umum dapat diukur melalui ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan, seperti tenaga kesehatan terutama bidan, selain itu dipengaruhi juga oleh rata-rata angka harapan hidup, jumlah akseptor KB, serta angka kematian bayi yang secara langsung terkait dengan tingkat kesehatan ibu.
Pada dasarnya pembangunan dibidang kesehatan bertujuan untuk memberikan pelayanan kesehatan secara mudah, merata dan murah. Dengan meningkatnya pelayanan kesehatan, pemerintah berupaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Salah satu upaya Pemerintah dalam rangka pemerataan pelayanan kesehatan kepada masyarakat adalah dengan penyediaan fasilitas kesehatan terutama Puskesmas dan Puskesmas Pembantu karena kedua fasilitas tersebut dapat menjangkau segala lapisan masyarakat hingga kedaerah terpencil. Upaya pemerintah mengutamakan pembangunan dibidang kesehatan mempunyai beberapa kepentingan antara lain meningkatkan derajat kesehatan masyarakat secara luas yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan lebih dini lagi adalah untuk menurunkan angka kematian bayi/balita.
Upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang baik selain dengan penyediaan berbagai fasilitas kesehatan, juga melalui penyuluhan kesehatan agar masyarakat dapat berperilaku hidup sehat. Adapun upaya untuk menilai keberhasilan pembangunan dibidang kesehatan salah satunya adalah dengan berdasarkan situasi derajat kesehatan. Oleh karena itu derajat kesehatan merupakan keharusan guna menilai hasil pelaksanaan program kesehatan yang dijalankan. Guna menilai keberhasilan pembangunan kesehatan maupun sebagai dasar dalam menyusun rencana untuk masa yang akan datang mutlak diperlukan analisa situasi derajat kesehatan tersebut.
Dalam analisa sejauh mungkin diungkapkan tentang faktor-faktor seperti lingkungan, perilaku dan upaya pelayanan kesehatan yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat dan penyebaran menurut waktu, tempat kejadian sehingga dapat dibuat pula kecenderungan untuk masa yang akan datang.
Upaya peningkatan kesehatan ibu perlu mendapat perhatian khusus. Survey Daerah Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 1997, dari tahun 2003 menunjukkan bahwa terdapat penurunan AKI dari 334 per 100 ribu kehamilan menjadi 307 per 100 ribu. Meskipun telah terjadi penurunan AKI dan Kematian Bayi dan Anak namun AKI dan Kematian BBL masih tinggi. Cakupan Angka Kematian Ibu pada tahun 2010 adalah:
1. Menurunkan AKI menjadi 125 per 100.000 kehamilan.
2. Menurunkan angka kematian neonatal menjadi 15 per 1000 kehamilan.
Untuk mencapai target yang telah di tetapkan tersebut digunakan pendekatan baru yaitu Making Pregnancy Safer (MPS) dengan 3 fokus kegiatan (pesan kunci) :
1. Setiap persalinan di tolong oleh tenaga kesehatan terlatih.
2. Setiap komplikasi obstetri dan neonatal mendapat pelayanan yang adekuat.
3. Setiap Wanita Usia Subur (WUS) mempunyai akses terhadap pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan dan penanganan komplikasi keguguran.
Komplikasi dalam kehamilan dan persalinan tidak selalu dapat diduga atau diramalkan sebelumnya sehingga ibu hamil harus sedekat mungkin pada sarana pelayanan obstetri emergency dasar. Penyebab utama kematian Ibu adalah perdarahan, infeksi, eklampsi, partus lama dan komplikasi abortus. Perdarahan merupakan sebab kematian utama. Dengan demikian sangat pentingnya pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan karena sebagian besar komplikasi terjadi pada saat sekitar persalinan, sedang sebab utama kematian bayi baru lahir adalah asfiksia, infeksi dan hipotermi, berat badan lahir rendah (BBLR).
Selama kurun waktu 20 tahun Angka Kematian Bayi (AKB) telah diturunkan secara tajam, namun AKB menurut SDKI 2002-2003 adalah 35 per 1000 kehamilan. Angka tersebut masih tinggi dan saat ini mengalami penurunan secara lambat. Dalam Rencana Pembangunan jangka panjang Menengah Nasional (RPJMN) salah satu sasarannya adalah menurunkan AKB dari 35 per 1000 kehamilan menjadi 26 per 1000 kehamilan pada tahun 2009. Oleh karena itu perlu dilakukan intervensi terhadap masalah-masalah penyebab kematian bayi untuk mendukung upaya percepatan penurunan AKB di indonesia.
Upaya peningkatan derajat kesehatan keluarga dilakukan melalui program pembinaan kesehatan keluarga yang meliputi upaya peningkatan kesehatan Ibu dan Bayi, Anak Pra Sekolah dan Anak Usia Sekolah, Kesehatan Reproduksi Remaja, dan Kesehatan Usia Subur. Era Desentralisasi menurut pengelola program di Kabupaten/Kota untuk lebih proaktif didalam mengembangkan program yang mempunyai daya ungkit dalam akselerasi penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) sesuai situasi dan kemampuan daerah masing-masing mengingat AKI dan AKB merupakan salah satu indikator penting keberhasilan program kesehatan Indonesia.
Berbagai permasalahan kesehatan anak prasekolah, usia sekolah dan kesehatan remaja yang semakin kompleks yang meliputi kesehatan reproduksi remaja, masalah penyalagunaan narkotik dan zat adiktif lainnya merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh program Kesehatan Keluarga. Diharapkan melalui kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dapat memperluas cakupan pelayanan yang pada akhirnya dapat meningkatkan status Kesehatan keluarga secara khusus dan masyarakat pada umumnya.
Indikator adalah sesuatu yang dijadikan ukuran untuk mengetahhui keberhasilan pelaksanaan program. Indikator keberhasilan pembangunan kesehatan ibu dan anak, dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:
A. Kerjasama Lintas Sektor
Dalam kerjasama lintas sektor untuk penurunan AKI dan AKB, institusi pelayanan kesehatan Kabupaten/Kota memegang peranan yang sangat menentukan. Hal ini dirasakan sangat penting dan strategis dalam pembangunan kesehatan daerah dimana dikaitkan dengan desentralisasi pemerintahan daerah.
Perubahan perilaku masyarakat untuk hidup sehat dan peningkatan mutu lingkungan sangat berpengaruh terhadap peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Selain itu, masalah kesehatan dan gizi merupakan masalah nasional yang tidak dapat terlepas dari berbagai kebijakan dari sektor lain. Peningkatan upaya dana manajemen pelayanan kesehatan tidak dapat terlepas dari peran sektor yang membidangi pembiayaan, pemerintahan dan pembangunan daerah, ketenagaan, pendidikan, perdagangan dan sosial budaya. Dengan demikian kerja sama lintas sektor yang masih belum berhasil pada masa lalu perlu lebih ditingkatkan.
Untuk menjamin terselenggaranya intervensi program kesehatan ibu dan anak yang berhasil, diperlukan pendekatan yang dilakukan secara lintas sektoral. Sebelum melakukan intervensi baik pemerintah atau suatu Lembaga Non Pemerintah perlu mencari dan menetapkan kerangka pikir mengenai pentingnya pembangunan Sumber Daya Manusia (capacity building) yang terfokus pada upaya pelayanan kesehatan Ibu dan Anak serta mencari data-data dan Informasi mengenai Analisa Situasi Kesehatan Ibu dan Anak (ASIA).

B. Perilaku Hidup Sehat, Kemandirian Masyarakat dan Kemitraan Swasta
Peningkatan Perilaku, Kemandirian masyarakat dan kemitraan swasta Perilaku hidup sehat masyarakat sejak usia dini perlu ditingkatkan melalui berbagai kegiatan penyuluhan dan pendidikan kesehatan, agar menjadi bagian dari norma hidup dan budaya masyarakat.dalam rangka meningkatkan kesadaran dan kemandirian masyarakat untuk hidup sehat. Peran masyarakat dalam pembangunan kesehatan terutama melalui penerapan konsep Pembangunan Kesehatan Masyarakat tetap didorong dan bahkan dikembangkan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan kesehatan serta kesinambungan upaya kesehatan.
Kemitraan swasta lebih dikembangkan dengan memberikan kemudahan dalam membangun terutama pelayanan kesehatan rujukan rumah sakit dan pelayanan medik lainnya, dengan memperhatikan efisiensi keseluruhan sistem pelayanan kesehatan. Kemitraan swasta juga ditingkatkan dalam pencegahan penyakit dan peningkatan derajat kesehatan.
Peran organisasi profesi, sebagai bagian organisasi masyarakat, ditingkatkan terutama yang menyangkut penyusunan dan pemantauan standar dan kode etik profesi dalam pelayanan kesehatan. Organisasi profesi didorong untuk berperan aktif mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan, membantu pemerintah dalam perumusan kebijaksanaan dan pengelolaan serta pemantauan pelaksanaan pembangunan kesehatan dan berfungsi pula memberikan masukan untuk mengembangkan sumber daya manusia kesehatan.

C. Lingkungan Sehat
Peningkatan kesehatan lingkungan Kesehatan lingkungan pemukiman, tempat kerja, dan tempat tempat umum serta tempat-tempat pariwisata ditingkatkan melalui penyediaan serta pengawasan mutu air yang memenuhi persyaratan terutama perpipaan, penertiban tempat pembuangan sampah, penyediaan sarana pembuangan limbah serta berbagai sarana sanitasi lingkungan lainnya sehingga penduduk dapat hidup sehat dan produktif serta terhindar dari penyakit-penyakit yang membahayakan yang ditularkan melalui atau disebabkan oleh lingkungan tidak sehat.
Kualitas air, udara dan tanah ditingkatkan untuk menjamin hidup sehat dan produktif sehingga masyarakat terhindar dari keadaan yang dapat menimbulkan bahaya kesehatan. Untuk itu diperlukan peningkatan dan perbaikan berbagai peraturan perundang-undangan, pendidikan lingkungan sehat sejak dari usia muda, serta pembakuan mutu lingkungan.
Pengendalian atas penyebab (agent), pembawa (vector) serta sumber (reservoir) penyakit perlu dilakukan untuk terciptanya lingkungan yang sehat bagi segenap penduduk. Perhatian khusus diberikan pula kepada gangguan lingkungan karena penggunaan teknologi dan bahan bahan berbahaya, eksplorasi sumber daya alam yang berlebihan, serta yang disebabkan oleh bencana, baik oleh alam maupun ulah manusia. Dampak global perubahan cuaca perlu diwaspadai terutama yang terkait dengan timbulnya berbagai gangguan kesehatan, disamping dampak negatif kelangkaan bahan pangan yang berpengaruh terhadap gizi penduduk.

D. Upaya Kesehatan
Peningkatan Upaya Kesehatan Dalam rangka mempertahankan status kesehatan masyarakat selama krisis ekonomi, upaya kesehatan diprioritaskan untuk mengatasi dampak krisis disamping tetap mempertahankan peningkatan pembangunan kesehatan. Perhatian khusus dalam mengatasi dampak krisis diberikan kepada kelompok berisiko dari keluarga-keluarga miskin agar derajat kesehatannya tidak memburuk dan tetap hidup produktif. Pemerintah bertanggung jawab terhadap biaya pelayanan kesehatan untuk penduduk miskin.
Setelah melewati masa krisis ekonomi, status kesehatan masyarakat diusahakan ditingkatkan melalui pencegahan dan pengurangan morbiditas, mortalitas dan kecacatan dalam masyarakat terutama pada bayi, anak balita dan wanita hamil, melahirkan dan masa nifas, melalui upaya peningkatan (promosi) hidup sehat, pencegahan dan pemberantasan penyakit menular serta pengobatan penyakit dan rehabilitasi. Prioritas utama diberikan kepada penanggulangan penyakit menular dan wabah yang cenderung meningkat Perhatian yang lebih besar diberikan untuk mewujudkan produktivitas kerja yang tinggi, melalui berbagai upaya pelayanan kesehatan kerja termasuk perbaikan gizi dan kebugaran jasmani tenaga kerja serta upaya kesehatan lain yang menyangkut kesehatan lingkungan kerja dan lingkungan pemukiman, terutama bagi penduduk yang tinggal didaerah kumuh.
Peningkatan upaya kesehatan dilakukan dengan menggalang kemitraan sektor swasta dan potensi masyarakat. Peningkatan upaya kesehatan sektor pemerintah lebih diutamakan pada pelayanan kesehatan yang berdampak luas terhadap kesehatan masyarakat. Sedangkan pelayanan kesehatan perorangan yang bersifat penyembuhan dan pemulihan penyakit terutama dipercayakan kepada swasta.
Pelayanan kesehatan dasar yang diselenggarakan melalui Puskesmas, Puskesmas Pembantu, bidan di desa dan upaya pelayanan kesehatan swasta ditingkatkan pemerataan dan mutunya. Peningkatan yang sama ditujukan pula untuk pelayanan kesehatan rujukan yang diselenggarakan oleh rumah sakit milik pemerintah maupun milik swasta.
Peningkatan pemerataan dilakukan melalui penempatan bidan di desa, pengembangan Puskesmas yang sudah ada dan membangun Puskesmas Pembantu lengkap dengan sarananya. Peningkatan kualitas dilakukan melalui pelaksanaan jaminan mutu oleh puskesmas dan rumah sakit.

E. Sumber Daya Kesehatan
Peningkatan Sumber Daya Kesehatan Pengembangan tenaga kesehatan harus menunjang seluruh upaya pembangunan kesehatan dan diarahkan untuk menciptakan tenaga kesehatan yang ahli dan trampil sesuai pengembangan ilmu dan teknologi, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta berpegang teguh pada pengabdian kepada bangsa dan negara dan etika profesi. Pengembangan tenaga kesehatan bertujuan untuk meningkatnya pemberdayaan atau daya guna tenaga dan penyediaan jumlah serta mutu tenaga kesehatan dari masyarakat dan pemerintah yang mampu melaksanakan pembangunan kesehatan.
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) dikembangkan terus untuk menjamin terselenggaranya pemeliharaan kesehatan yang lebih merata dan bermutu dengan harga yang terkendali. JPKM diselenggarakan sebagai upaya bersama antara masyarakat, swasta dan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan biaya pelayanan kesehatan yang terus meningkat. Tarif pelayanan kesehatan perlu disesuaikan atas dasar nilai jasa dan barang yang diterima oleh anggota masyarakat yang memperoleh pelayanan. Masyarakat yang tidak mampu akan dibantu melalui sistem JPKM yang disubsidi oleh pemerintah. Bersamaan dengan itu dikembangkan pula asuransi kesehatan sebagai pelengkap/pendamping JPKM. Pengembangan asuransi kesehatan berada di bawah pembinaan pemerintah dan asosiasi perasuransian. Secara bertahap Puskesmas dan Rumah Sakit milik pemerintah akan dikelola secara swadana. Dalam upaya meningkatkan perbekalan kesehatan, pengadaan dan produksi bahan baku obat yang secara ekonomis menguntungkan terus ditingkatkan. Pengadaan, produksi dan distribusi obat jadi ditingkatkan efisiensi dan mutunya sehingga masyarakat dapat memperoleh obat yang bermutu dengan harga yang terjangkau. Pemakaian obat yang rasional terutama dengan menggunakan obat generik lebih digalakkan melalui upaya promosi dan penyuluhan bagi tenaga kesehatan dan masyarakat umum. Obat-obatan tradisional yang bermanfaat bagi kesehatan akan dimanfaatkan secara terintregrasi dalam pelayanan kesehatan masyarakat. Disamping itu pembudidayaan dan pemanfaatannya di masyarakat sendiri akan dikembangkan terus melalui pembinaan oleh pemerintah maupun asosiasi profesi.
Pembinaan kualitas makanan dan minuman yang dipasarkan dan dikonsumsi oleh masyarakat ditingkatkan untuk melindungi masyarakat dari bahan dan organisme yang membahayakan kesehatan.

F. Manajemen Pembangunan Kesehatan
Peningkatan Kebijakan dan Manajemen Pembangunan Kesehatan Kebijaksanaan dan manajemen pembangunan kesehatan perlu makin ditingkatkan terutama melalui peningkatan secara strategis kerjasama antara sektor kesehatan dan sektor lain yang terkait, dan antara berbagai program kesehatan serta antara para pelaku dalam pembangunan kesehatan sendiri.
Manajemen upaya kesehatan yang terdiri dari perencanaan, penggerakan pelaksanaan, pengendalian dan penilaian diselenggarakan secara sistematik untuk menjamin upaya kesehatan yang terpadu dan menyeluruh. Manajemen tersebut didukung oleh sistem informasi yang handal guna menghasilkan pengambilan keputusan dan cara kerja yang efisien. Sistem informasi tersebut dikembangkan secara komprehensif diberbagai tingkat administrasi kesehatan sebagai bagian dari pengembangan administrasi modern. Organisasi Departemen Kesehatan perlu disesuaikan kembali dengan fungsi-fungsi: regulasi, perencanaan nasional, pembinaan dan pengawasan. Desentralisasi atas dasar prinsip otonomi yang nyata, dinamis, serasi dan bertanggung jawab dipercepat melalui pelimpahan tanggung jawab pengelolaan upaya kesehatan kepada Daerah . Dinas Kesehatan ditingkatkan terus kemampuan manejemennya sehingga dapat melaksanakan secara lebih bertanggung jawab perencanaan dan pembiayaan upaya pelaksanaan kesehatan. Peningkatan kemampuan manajemen tersebut dilakukan melalui rangkaian pendidikan dan pelatihan yang sesuai dengan pembangunan kesehatan yang ada. Upaya tersebut diatas perlu didukung oleh tersedianya pembiayaan kesehatan yang memadai. Untuk itu perlu diupayakan peningkatan pendanaan kesehatan baik yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional maupun dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Sumber pendapatan untuk pembangunan kesehatan dapat digali dari pengenaan pajak atas barang konsumen yang merugikan kesehatan seperti cukai rokok dan tembakau, dan pajak atas minuman keras. Sejalan dengan itu semua pendapatan oleh institusi kesehatan pemerintah dikembalikan sepenuhnya untuk membiayai pelayanan kesehatan dan upaya peningkatan mutu pelayanan.

G. IPTEK
Peningkatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Kesehatan Penelitian dan pengembangan di bidang kesehatan akan terus dikembangkan secara terarah dan bertahap dalam rangka menunjang upaya kesehatan, utamanya untuk mendukung perumusan kebijakansanaan, membantu memecahkan masalah kesehatan dan mengatasi kendala di dalam pelaksanaan program kesehatan. Penelitian dan pengembangan kesehatan akan terus dikembangkan melalui jaringan kemitraan dan didesentralisasikan sehingga menjadi bagian penting dari pembangunan kesehatan daerah.
Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi didorong untuk meningkatkan pelayanan kesehatan, gizi, pendayagunaan obat dan pengembangan obat asli Indonesia, pemberantasan penyakit dan perbaikan lingkungan. Penelitian yang berkaitan dengan ekonomi kesehatan dikembangkan untuk mengoptimalkan pemanfaatan pembiayaan kesehatan dari pemerintah dan swasta, serta meningkatkan kontribusi pemerintah dalam pembiayaan kesehatan yang masih terbatas. Penelitian bidang sosial budaya dan perilaku hidup sehat dilakukan untuk mengembangkan gaya hidup sehat dan mengurangi masalah kesehatan masyarakat yang ada.

H. Derajat Kesehatan
Derajat kesehatan merupakan salah satu ukuran kesejahteraan dan kualitas sumber daya manusia. Sebagaimana lazimnya untuk menggambarkan derajat kesehatan digunakan indikator kualitas utama seperti angka kematian, kesakitan, kelahiran, status gizi dan lain-lain.
Derajat Kesehatan yang optimal akan dilihat dari unsur kualitas hidup serta unsur-unsur mortalitas dan yang mempengaruhinya seperti morbiditas dan status gizi. Untuk kualitas hidup yang digunakan sebagai indikator adalah Angka Kelahiran Hidup Waktu Lahir, sedangkan untuk mortalitas telah disepakati yakni Angka Kematian Bayi per 1.000 Kelahiran Hidup, Angka Kematian Balita per 1.000 Kelahiran Hidup dan Angka Kematian Ibu per 100.000 Kelahiran Hidup.
1. Angka Kematian Bayi (AKB)
Kematian bayi adalah kematian yang terjadi antara saat setelah bayi lahir sampai bayi belum berusia tepat satu tahun. Banyak faktor yang dikaitkan dengan kematian bayi. Secara garis besar, dari sisi penyebabnya, kematian bayi ada dua macam yaitu endogen dan eksogen.
Kematian bayi endogen atau yang umum disebut dengan kematian neonatal; adalah kematian bayi yang terjadi pada bulan pertama setelah dilahirkan, dan umumnya disebabkan oleh faktor-faktor yang dibawa anak sejak lahir, yang diperoleh dari orang tuanya pada saat konsepsi atau didapat selama kehamilan.
Kematian bayi eksogen atau kematian post neo-natal, adalah kematian bayi yang terjadi setelah usia satu bulan sampai menjelang usia satu tahun yang disebabkan oleh faktor-faktor yang bertalian dengan pengaruh lingkungan luar.
Salah satu faktor yang mempengaruhi tinggi atau rendahnya angka kematian bayi di suatu daerah adalah tersedianya fasilitas kesehatan bagi masyarakatnya.
Penurunan AKB tersebut antara lain disebabkan oleh peningkatan cakupan imunisasi bayi, peningkatan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan, penempatan bidan di desa dan meningkatnya proporsi ibu dengan pendidikan yang tinggi.
2. Angka Kematian Balita (AKABA)
Angka Kematian Balita adalah jumlah kematian anak berusia 0-4 tahun selama satu tahun tertentu per 1000 anak umur yang sama pada pertengahan tahun itu (termasuk kematian bayi).
3. Angka Harapan Hidup
Keberhasilan program kesehatan dan program pembangunan sosial ekonomi pada umumnya dapat dilihat dari peningkatan usia harapan hidup penduduk dari suatu negara. Meningkatnya perawatan kesehatan melalui Puskesmas, meningkatnya daya beli masyarakat akan meningkatkan akses terhadap pelayanan kesehatan, mampu memenuhi kebutuhan gizi dan kalori, mampu mempunyai pendidikan yang lebih baik sehingga memperoleh pekerjaan dengan penghasilan yang memadai, yang pada gilirannya akan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan memperpanjang usia harapan hidupnya.
4. Angka Kematian Ibu.
Kematian ibu adalah kematian perempuan pada saat hamil atau kematian dalam kurun waktu 42 hari sejak terminasi kehamilan tanpa memandang lamanya kehamilan atau tempat persalinan, yakni kematian yang disebabkan karena kehamilannya atau pengelolaannya, tetapi bukan karena sebab-sebab lain seperti kecelakaan, terjatuh dll (Budi, Utomo. 1985).
Salah satu faktor penting untuk menciptakan sumber daya perempuan yang berkualitas adalah dengan meningkatkan derajat kesehatan perempuan itu sendiri, pembangunan di bidang kesehatan khususnya pelayanan untuk kaum perempuan, seharusnya tidak boleh tertinggal dibandingkan pembangunan di sektor lain. Secara nasional, permasalahan kesehatan perempuan masih sangat menonjol.
Salah satu indikator yang dapat dijadikan alat untuk mengukur kualitas kesehatan perempuan adalah dengan Angka Kematian Ibu atau Maternal Motality Rate (MMR) sangat erat hubungannya dengan tingkat kesadaran prilaku hidup sehat, status gizi dan kesehatan ibu serta tingkat pelayanan kesehatan ibu terutama pada saat ibu hamil, bersalin dan masa nifas. Apabila dilihat dari tahun ketahun angka kematian ibu menunjukan hasil yang baik, sebab adanya penurunan yakni tahun 2004 berjumlah 53, untuk tahun 2005 turun menjadi 40 orang, dan berdasarkan laporan yang masuk tahun 2006 adalah 49 orang.
5. Partisipasi Ibu dalam ber-KB
Program Keluarga Berencana (KB) yang mempunyai slogan 2 Anak Cukup! Dicanangkan pemerintah sebagai usaha untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk serta meningkatkan kesehatan ibu dan anak. Dengan KB, keluarga Indonesia atau pasangan usia subur didorong untuk merencanakan kehamilan/kelahiran, menjarangkan kelahiran agar kualitas kesehatan anak, ibu dan keluarga mencapai hasil maksimal.
6. Penolong Persalinan
Dalam usaha peningkatan derajat kesehatan terutama dalam program peningkatan kesehatan ibu dan anak, tenaga terlatih yang menjadi penolong atau penyedia layanan kesehatan merupakan kewajiban yang harus disiapkan pemerintah. Melalui serangkaian program pemerintah, usaha menyiapkan tenaga kesehatan mulai dari perawat, bidan dan dokter sudah dilakukan dengan optimal. Tenaga penolong kelahiran merupakan prioritas pertama untuk meningkatkan kualitas sekaligus usaha menekan angka kematian ibu dan anak pada saat melahirkan. Namun dalam masyarakat,terdapat beberapa sosok yang dikenal sebagai tenaga penolong persalinan, mulai dari sosok yang terdidik seperti dokter kandungan, bidan, perawat, sampai tenaga yang bukan terdidik seperti dukun beranak yang menggunakan metode tradisional.
Penolong persalinan bayi dapat dijadikan salah satu indikator kesehatan, terutama dalam hubungannya dengan tingkat kesejahteraan ibu dan pelayanan kesehatan secara umum. Dilihat dari kesehatan ibu, persalinan oleh tenaga medis seperti dokter atau bidan dapat dianggap lebih baik daripada penolong kelahiran yang lain.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Indikator adalah sesuatu yang dijadikan ukuran untuk mengetahhui keberhasilan pelaksanaan program. Indikator keberhasilan pembangunan kesehatan ibu dan anak, dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:
1. Kerja sama lintas sektoral
2. Perilaku hidup sehat, Kemandirian masyarakat dan kemitraan swasta
3. Lingkungan sehat
4. Upaya kesehatan
5. Sumber daya kesehatan
6. Kebijakan dan manajemen pembangunan kesehatan
7. IPTEK
8. Derajat kesehatan

B. Saran
1. Memperbaiki akses pelayanan kesehatan maternal dan neonatal dengan cara pemberian pelayanan antenatal yang optimal secara menyeluruh dan terpadu, peningkatan deteksi dini resiko tinggi baik pada ibu hamil maupun pada bayi di institusi pelayanan ANC maupun di masyarakat, disamping itu pengamatannya harus secara terus menerus.
2. Berfungsinya mekanisme rujukan dari tingkat masyarakat dan puskesmas hingga rumah sakit tempat rujukan.
3. Adanya keseragaman dan persamaan persepsi tentang sistem pelaporan antara pengelola program kesehatan ibu dan anak yang berada di kabupaten/kota dengan pengelola yang ada di propinsi.


DAFTAR PUSTAKA

http://125.160.76.194/data/profil/tahun2006/BAB%204%20profil%202006.pdf, diunduh pada tanggal 20 Maret 2009.
http://bappeda-kotategal.go.id/index.php?ask=hal&hid=114, diunduh pada tanggal 20 Maret 2009.
http://bps.papua.go.id/pegbin/DDA_06/BAB%204/bab_4.pdf, diunduh pada tanggal 20 Maret 2009.
http://digital.lib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=ijptuncen-gdl-res-1995-tim-1197-kesehatan, diunduh pada tanggal 20 Maret 2009.
http://kiasulteng.wordpress.com/profil-kia/, diunduh pada tanggal 20 Maret 2009.
http://sumut.bps.go.id/sibolga/PUBLIKASI/GENDER08/Bab%205_kshtn.pdf, diunduh pada tanggal 21 Maret 2009.
http://www.datastatistik-indonesia.com/content/view/460/460/, diunduh pada tanggal 21 Maret 2009.
http://www.depkes.go.id/showis.php?tid=Kebijaksanaan, diunduh pada tanggal 21 Maret 2009.
http://www.lampungpost.com/cetak/cetak.php?id=2007090201380547, diunduh pada tanggal 21 Maret 2009.
http://www.lrckesehatan.net/kurikulum/Kurik%20LRC.pdf, diunduh pada tanggal 21 Maret 2009.
http://www.p3skk.litbang.depkes.go.id, diunduh pada tanggal 21 Maret 2009.
http://www.promosikesehatan.com/?act=article&id=14&pg=2, diunduh pada tanggal 21 Maret 2009.

PENGGUNAAN EPINEFRIN UNTUK RESUSITASI BAYI BARU LAHIR DENGAN KEGAWATAN DAN MENGALAMI BRADIKARDI YANG PARAH

Bayi baru lahir atau neonatus meliputi umur 0-28 hari. Kehidupan pada masa neonatus ini sangat rawan karena memerlukan penyesuaian fisiologik agar bayi di luar kandungan dapat hidup sebaik-baiknya.
Banyak masalah pada bayi baru lahir yang berhubungan dengan gangguan atau kegagalan penyesuaian biokimia dan faali yang disebabkan oleh prematuritas, kelainan anatomik, dan lingkungan yang kurang baik dalam kandungan, pada persalinan maupun sesudah lahir.
Pada bayi baru lahir yang mengalami kegawatan dan bradikardi yang parah, memerlukan tindakan resusitasi. Resusitasi adalah tindakan untuk menghidupkan kembali atau memulihkan kembali kesadaran seseorang yang tampaknya mati sebagai akibat berhentinya fungsi jantung dan paru, yang berorientasi pada otak (Tjokronegoro, 1998).
Sedangkan menurut Rilantono, dkk (1999) resusitasi mengandung arti harfiah “menghidupkan kembali”, yaitu dimaksudkan usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah suatu episode henti jantung berlanjut menjadi kematian biologis. Resusitasi jantung paru terdiri atas dua komponen utama yakni: bantuan hidup dasar (BHD) dan bantuan hidup lanjut (BHL). Selanjutnya adalah perawatan pasca resusitasi.
Bantuan hidup dasar adalah usaha yang dilakukan untuk menjaga jalan nafas (Airway) tetap terbuka, menunjang pernafasan dan sirkulasi darah. Usaha ini harus dimulai dengan mengenali secara tepat keadaan henti jantung atau henti nafas dan segera memberikan bantuan ventilasi dan sirkulasi. Usaha BHD ini bertujuan dengan cepat mempertahankan pasokan oksigen ke otak, jantung dan alat-alat vital lainnya sambil menunggu pengobatan lanjutan (bantuan hidup lanjut).
Tindakan resusitasi merupakan tindakan yang harus dilakukan dengan segera sebagai upaya untuk menyelamatkan hidup (Hudak dan Gallo, 1997). Tindakan resusitasi ini dimulai dengan penilaian secara tepat keadaan dan kesadaran penderita kemudian dilanjutkan dengan pemberian bantuan hidup dasar (basic life support) yang bertujuan untuk oksigenasi darurat. (AHA, 2003).
Tujuan tahap II (advance life support) adalah untuk memulai kembali sirkulasi yang spontan, sedangkan tujuan tahap III (prolonged life support) adalah pengelolaan intensif pasca resusitasi. Hasil akhir dari tindakan resusitasi akan sangat tergantung pada kecepatan dan ketepatan penolong pada tahap I dalam memberikan bantuan hidup dasar.
Tujuan utama resusitasi kardiopulmoner yaitu melindungi otak secara manual dari kekurangan oksigen, lebih baik terjadi sirkulasi walaupun dengan darah hitam daripada tidak sama sekali. Sirkulasi untuk menjamin oksigenasi yang adekuat sangat diperlukan dengan segera karena sel-sel otak menjadi lumpuh apabila oksigen ke otak terhenti selama 8 – 20 detik dan akan mati apabila oksigen terhenti selama 3 – 5 menit (Tjokronegoro, 1998). Kerusakan sel-sel otak akan menimbulkan dampak negatif berupa kecacatan atau bahkan kematian.
Tatalaksana Tindakan Resusitasi
• Penilaian Bayi
Penilaian kegawatan pada bayi dan anak yang mengalami kegawatan tidak lebih dari 30 detik yang meliputi:
1) Airway
Apakah ada obstruksi yang menghalangi jalan nafas, apakah memerlukan alat bantu jalan nafas, apakah ada cedera pada leher.
2) Breathing
Frekuensi nafas, gerak nafas, aliran udara pernafasan, warna kulit/mukosa.
3) Circulation
Frekuensi, tekanan darah, denyut sentral, perfusi kulit (capillary refilling time, suhu, mottling), perfusi serebral, reaksi kesadaran (tonus otot, mengenal, ukuran pupil, postur).


• Posisi Bayi
Untuk dapat dilakukan resusitasi jantung paru, penderita harus dibuat dalam posisi terlentang dan diusahakan satu level atau datar. Posisi untuk bayi baru lahir (neonatus) leher sedikit ekstensi, atau dengan meletakkan handuk atau selimut di bawah bahu bayi sehingga bahu terangkat 2-3 cm.
• Posisi Penolong
Penolong sebaiknya berdiri disamping penderita dalam posisi dimana ia dapat melakukan gerakan bantuan nafas dan bantuan sirkulasi tanpa harus merubah posisi tubuh.
Teknik Resusitasi
Airway : membuka jalan nafas
1) Menentukan derajat kesadaran dan kesulitan nafas.
2) Membuka jalan nafas dengan cara menengadahkan kepala dan menopang dagu (head tilt and chin lift) bila tidak terdapat cedera kepala atau leher dengan cara satu tangan pada dahi, tekan ke belakang. Jari tangan lain pada rahang bawah, dorong keluar dan ke atas. Gerakan ini akan mengangkat pangkal lidah ke atas sehingga jalan nafas terbuka. Lidah yang jatuh ke belakang sering menjadi penyebab obstruksi jalan nafas pada penderita yang tidak sadar.
3) Gerakan mendorong rahang ke bawah ke depan (jaw thrust) juga dapat membuka jalan nafas bila diketahui terdapat cedera leher atau kepala.
4) Membersihkan benda asing dapat dilakukan dengan :
(1) Finger sweep: yaitu dengan menggunakan jari telunjuk dan jari tengah penolong untuk membebaskan sumbatan jalan nafas yang diakibatkan oleh sisa makanan.
(2) Heimlich manuver
(3) Abdominal/chest thrust
(4) Suction (pengisapan): yaitu membersihkan jalan nafas dilakukan pengisapan lendir/cairan dengan menggunakan suction. Pada bayi dimulai dengan mengisap mulut terlebih dahulu kemudian bagian hidung supaya tidak terjadi aspirasi dan dilakukan tidak lebih dari 5 detik.
5) Setelah jalan nafas terbuka harus dinilai/evakuasi pernafasan dengan melihat, mendengar dan merasakan adanya hembusan nafas.
Breathing
1) Dekatkan pipi penolong pada hidung dan mulut penderita, lihat dada penderita.
2) Lihat, dengar dan rasakan pernafasan ( 5 – 10 detik).
3) Jika tidak ada nafas lakukan bantuan nafas buatan/Ventilasi Tekanan Positif (VTP) . Kebutuhan oksigen untuk ventilasi tekanan positif (VTP) adalah 30 cm H2O atau lebih untuk napas pertama, 15-20 cm H2O untuk napas selajutnya
4) Pada Neonatus dan bayi (pasang sungkup dengan posisi perlekatan yang benar).
5) Pompa balon resusitasi sebanyak 20-30 kali pompa. sambil melihat perubahan kondisi bayi.
6) Evaluasi pemberian nafas buatan dengan cara mengamati gerakan turun naik dada. Bila dada naik maka kemungkinan tekanan adekwat. Bila dada tidak naik cek kembali posisi anak, perlekatan sungkup, tekanan yang diberikan, periksa jalan nafas apakah ada mucus atau tidak bila ada dapat dilakukan penghisapan dengan suction.
7) Setelah dilakukan ventilasi selama satu menit, evaluasi apakah bayi atau anak dapat bernafas secara spontan. Lakukan penilaian pulsasi tidak boleh lebih dari 10 detik. Jika pulsasi ada dan penderita tidak bernafas, maka hanya dilakukan bantuan nafas sampai penderita bernafas spontan.
Circulation
1) Jika pulsasi tidak ada atau terjadi bradikardi maka harus dilakukan kompresi dada sehingga memberikan bantuan sirkulasi disertai bantuan nafas secara ritmik dan terkoordinasi. Pada neonatus pemberian kompresi jantung diberikan bila didapat heart rate kurang dari 60 kali per menit
2) Posisi tempat kompresi :
(1) Pada neonatus: 1 jari dibawah linea interpapilaris.
(2) Pada bayi: Sternum bagian bawah.
(3) Pada anak: 2 jari diatas prosesus xipoideus.
3) Tangan yang melakukan kompresi :
(1) Neonatus : menggunakan 2 jari tangan atau 2 ibu jari.
(2) Bayi : dengan menggunakan 2 jari.
Pada bayi baru lahir yang dilakukan tindakan resusitasi, setelah dilakukan ventilasi tekanan positif dan chest compression selama 30 detik tetapi denyut jantungnya masih kurang dari 60 kali per menit, tindakan yang harus dilakukan selanjutnya yaitu memberikan medikasi berupa epinefrin. Dosis penggunaan epinefrin pada bayi baru lahir: 0,1-0,3 ml/kg BB yang diencerkan dalam larutan 1 : 10.000 (0,01 mg-0,03 mg/kg BB). Cara pemberian : i.v (intravena) atau endotrakeal. Dapat diulang setiap 3-5 menit bila perlu.
Epinefrin adalah pemicu jantung dengan efek yang kompleks pada jantung dan pembuluh darah. Epinefrin selalu akan dapat menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah arteri dan memicu denyut dan kontraksi jantung sehingga menimbulkan tekanan darah naik seketika dan berakhir dalam waktu pendek.
Indikasi penggunaan epinefrin:
1. Henti jantung (cardiac arrest) : fibrilasi ventrikel (VF), takikardi ventrikel tanpa denyut nadi (pulseless VT), asistol, PEA (Pulseless Electrical Activity)
2. Bradikardia simtomatis
3. Hipotensi berat
4. Anafilaksis, reaksi alergi berat : kombinasi bersama sejumlah besar cairan, kortikosteroid, antihistamin

Sediaan:
Ampul 1 ml = 1 mg

Dosis dewasa dan cara pemberian
IV/IO : 1 mg diberikan/diulang setiap 3 – 5 menit
Endotrakeal : 2 – 2,5 mg (2 – 2,5 kali dosis IV/IO), dilarutkan dalam 10 ml PZ/NS
Infus kontinyu : 1 mg dilarutkan dalam 500 ml NS atau D5%, kecepatan inisial 1 µg/menit dititrasi sampai mencapai efek.



Hal yang perlu diperhatikan terhadap penggunaan epinefrin:
1. Peningkatan tekanan darah dan frekuensi nadi dapat menyebabkan iskemia miokard, angina, dan peningkatan kebutuhan oksigen miokard.
2. Dosis besar tidak meningkatkan perbaikan kesudahan (outcome) status neurologis, bahkan bisa menyebabkan disfungsi miokard post-resusitasi.

Epinefrin telah digunakan dalam beberapa dekade pada semua kelompok umur untuk perawatan cardiac arrest dan bradikardi. Walaupun panduan resmi untuk penggunaan epinefrin dalam resusitasi bayi baru lahir, bukti-bukti untuk rekomendasi ini belum diteliti dengan cermat. Meskipun diketahui bahwa bukti ini sebagian besar didapatkan dari uji coba yang dilakukan pada hewan dan kelompok manusia dewasa, kontribusi dari keberhasilan pada kelompok bayi baru lahir masih tidak jelas.
Penggunaan epinefrin mendapat tempat khusus untuk resusitasi bayi baru lahir yang mengalami kegawatan dan bradikardi yang parah. Panduan resmi untuk penggunaan epinefrin telah mendapat kesepakatan Internasional. Epinefrin digunakan sebagai rekomendasi pertama untuk resusitasi, karena dianggap paling tepat, paling aman, dan paling efektif dalam penggunaannya. Akan tetapi, dalam kenyataannya, sangat sedikit sekali fakta atau bukti yang mendukung ditetapkannya rekomendasi ini, bukti-bukti yang ada kebayakan didapatkan dari penelitian yang menggunakan uji coba hewan dan orang dewasa. Hal ini dapat menimbulkan bahaya yang serius pada penggunaan epinefrin.
Dosis epinefrin yang lebih tinggi sudah diujicoba penggunaannya pada anak-anak (Goetting, 1991) dan orang dewasa (Paradis, 1991) namun belum ada uji coba yang dilakukan pada kelompok bayi baru lahir. Studi meta-analisis untuk membandingkan pemberian epinefrin dosis tinggi dengan dosis rendah pada orang dewasa tidak menunjukkan beberapa keuntungan dengan diberikan dosis tinggi (Vandyke, 2000). Pada penelitian secara acak menunjukkan bahwa dosis epinefrin yang lebih tinggi (melebihi dosis standar) justru tidak meningkatkan angka keselamatan dan hasil neurologi. Lebih jauh lagi, dosis yang lebih tinggi akan mengakibatkan takikardi, hipertensi dan tingginya angka kematian mendadak pasca resusitasi.
Sebaiknya, penggunaan dosis epinefrin digunakan sesuai dengan kebutuhan. Sehingga mendapatkan hasil yang optimal dari pengobatan yang dilakukan.
Apabila epinefrin diberikan secara endotrakeal, level plasma darah yang diharapkan dapat tercapai meskipun terjadi efek penurunan aliran darah menuju paru-paru. Hal ini, menjadikan pemberian epinefrin secara endotrakeal kurang efektif. Penelitian tentang pemberian epinefrin secara intravena maupun endotracheal sudah direncanakan, tetapi hasil mengenai studi tersebut dalam jurnal ini belum diketahui pengaruhnya terhadap angka kematian dan angka kesakitan bayi baru lahir.
Dilihat dari kematangan usia kehamilan, pemberian epinefrin dapat menyebabkan banyak risiko tertentu yang sampai sekarang belum bisa dijelaskan. Hasilnya menyebutkan bahwa bayi preterm (bayi kurang bulan) akan lebih mudah terserang fluktuasi hemodinamik dengan penggunaan epinefrin yang berkelanjutan (Pasternak, 1983). Bayi preterm akan mudah mengalami gangguan perlukaan otak, seperti iskemik dan hipoksia setelah lahir.
Penelitian tentang penggunaan epinefrin pada bayi baru lahir dilakukan oleh Sims (1994), melakukan pengujian pada 105 bayi yang menerima epinefrin untuk resusitasi setelah kelahiran. 25 diantaranya dapat bertahan, sedangkan 9 bayi sulit untuk dilakukan follow-up. Hal ini juga dipengaruhi oleh usia gestasi yang kurang dari 28 minggu. O’Donnell (1998) yang melibatkan 78 bayi dengan dilakukan follow-up setelah kurang lebih satu tahun, 40 bayi dapat bertahan. Angka keberhasilannya sangat signifikan pada bayi aterm, yaitu 67% dibandingkan dengan bayi peterm 42%. Pada bayi dengan usia gestasi kurang dari 29 minggu, 78% diantaranya meninggal atau menunjukkan bukti gangguan pertumbuhan saraf. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Jankov (2000) yang melakukan pengujian terhadap bayi baru lahir yang berat badannya kurang dari 750 gram. Pada penelitian ini, dari 16 bayi yang mendapat CPR, 12 diantaranya juga diberikan epinefrin. Sembilan dari 16 bayi dapat bertahan dan 8 lainnya menunjukkan kecacatan saat dilakukan follow-up pada usia 2 tahun. Dalam hal ini, penggunaan epinefrin secara statistik tidak berhubungan dengan hasil studi ini.
Secara khusus, untuk bayi baru lahir yang preterm (kurang bulan) disarankan untuk dilakukan penelitian dan pengawasan lebih lanjut mengenai penggunaan obat vasopresor dalam tindakan resusitasinya. Bayi baru lahir yang preterm mempunyai potensi kegawatan lebih besar karena belum maturnya fungsi organ-organ tubuh, terutama dalam hal ini perkembangan imatur pada sistem pernafasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan pada paru-paru.
Efek samping yang terjadi akibat penggunaan epinefrin pada resusitasi bayi baru lahir antara lain :
1. Kematian - sebelum usia 28 minggu, pada saat pemberhentian, dan pada usia 12 dan 24 bulan, serta 5 tahun.
2. Kecacatan akan terjadi pada usia 12, 24 bulan dan usia 5 tahun. Kecacatan yang terjadi dapat berupa kebutaan, ketulian, cerebral palsy, dan keterlambatan pertumbuhan kognitif (ada lebih dari 2 penyimpangan pada Psychometric Test).
3. Kematian atau kecacatan pada usia 12 bulan, 24 bulan dan 5 tahun.
Selain efek samping pemberian epinefrin pada bayi baru lahir seperti yang disebutkan sebelumnya, ada beberapa efek lainnya yaitu:
1. Perdarahan intraventrikuler
2. Perdarahan intraventikuler berat (derajat III dan IV)
3. Periventikuler leukomalacia
4. Keterlambatan pertumbuhan kognitif
5. Cerebral palsy (pada usia 12 bulan, 24 bulan, dan 5 tahun)
6. Kebutaan
7. Ketulian
8. Penggunaan suplemen oksigen yang dibutuhkan tiap 28 hari
9. Penggunaan suplemen oksigen yang dibutuhkan pada 36 minggu setelah usia post menstruasi
10. Penggunaan suplemen oksigen yang dibutuhkan saat pemulihan di rumah.
11. Mekanikal ventilasi setiap hari
12. Terapi suplemen oksigen setiap hari
13. Nekrosis enterokolitis
14. Penurunan kadar keratin
15. Perawatan intensif setiap hari
16. Perawatan di rumah sakit setiap hari.
Randomised Controlled Trials (metode penelitian sampling yang dilakukan secara acak) penggunaan epinefrin untuk resusitasi bayi baru lahir tidak ditemukan, tinjauan sistematis ini tidak dapat menegakkan pernyataan “pemberian epinefrin pada bayi baru lahir yang mengalami kegawatan dan bradikardi yang parah dapat mengurangi angka kematian dan kesakitan”. Konfirmasi dari rekomendasi saat ini untuk penggunaan epinefrin dalam konteks ini hanya berdasarkan pada bukti-bukti yang didapatkan pada uji coba yang dilakukan pada hewan dan pada orang dewasa.
Strategi penelitian yang digunakan untuk tinjauan ini, memperkenalkan 3 masalah utama (efek pemberian epinefrin secara intravena vs endotrakeal terhadap angka kematian dan angka kesakitan, efek pemberian epinefrin dosis tinggi dengan dosis standar terhadap angka kematian dan angka kesakitan, serta efek epinefrin terhadap angka kematian dan angka kesakitan dengan berbagai macam usia gestasi), namun tidak ada data klinis yang mendukung 3 masalah utama tersebut.
Dalam memberikan rekomendasi untuk penanganan medis, sebaiknya harus didukung dengan evidence based. Dalam hal ini, bukti yang mendukung masih sangat kurang seperti yang disebutkan dalam jurnal yang diterbitkan oleh The Cochrane Library, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang penggunaan epinefrin untuk resusitasi pada bayi baru lahir yang mengalami kegawatan dan bradikardi yang parah. Disarankan, penelitian tersebut dilakukan untuk menemukan obat alternatif lain yang lebih aman penggunaannya dan mempunyai efek samping yang minimal dibandingkan dengan epinefrin. Hasil dari penelitian tersebut sebaiknya juga dipublikasikan secara jelas, sehingga bisa diketahui oleh orang banyak. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya informasi yang simpang-siur. Pengambilan keputusan pemilihan obat untuk medikasi hendaknya juga harus memperhatikan studi klinis yang telah dilakukan, dan diharapkan juga relevan antara praktik dengan penelitian.