Sabtu, Maret 21, 2009

PENGGUNAAN EPINEFRIN UNTUK RESUSITASI BAYI BARU LAHIR DENGAN KEGAWATAN DAN MENGALAMI BRADIKARDI YANG PARAH

Bayi baru lahir atau neonatus meliputi umur 0-28 hari. Kehidupan pada masa neonatus ini sangat rawan karena memerlukan penyesuaian fisiologik agar bayi di luar kandungan dapat hidup sebaik-baiknya.
Banyak masalah pada bayi baru lahir yang berhubungan dengan gangguan atau kegagalan penyesuaian biokimia dan faali yang disebabkan oleh prematuritas, kelainan anatomik, dan lingkungan yang kurang baik dalam kandungan, pada persalinan maupun sesudah lahir.
Pada bayi baru lahir yang mengalami kegawatan dan bradikardi yang parah, memerlukan tindakan resusitasi. Resusitasi adalah tindakan untuk menghidupkan kembali atau memulihkan kembali kesadaran seseorang yang tampaknya mati sebagai akibat berhentinya fungsi jantung dan paru, yang berorientasi pada otak (Tjokronegoro, 1998).
Sedangkan menurut Rilantono, dkk (1999) resusitasi mengandung arti harfiah “menghidupkan kembali”, yaitu dimaksudkan usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah suatu episode henti jantung berlanjut menjadi kematian biologis. Resusitasi jantung paru terdiri atas dua komponen utama yakni: bantuan hidup dasar (BHD) dan bantuan hidup lanjut (BHL). Selanjutnya adalah perawatan pasca resusitasi.
Bantuan hidup dasar adalah usaha yang dilakukan untuk menjaga jalan nafas (Airway) tetap terbuka, menunjang pernafasan dan sirkulasi darah. Usaha ini harus dimulai dengan mengenali secara tepat keadaan henti jantung atau henti nafas dan segera memberikan bantuan ventilasi dan sirkulasi. Usaha BHD ini bertujuan dengan cepat mempertahankan pasokan oksigen ke otak, jantung dan alat-alat vital lainnya sambil menunggu pengobatan lanjutan (bantuan hidup lanjut).
Tindakan resusitasi merupakan tindakan yang harus dilakukan dengan segera sebagai upaya untuk menyelamatkan hidup (Hudak dan Gallo, 1997). Tindakan resusitasi ini dimulai dengan penilaian secara tepat keadaan dan kesadaran penderita kemudian dilanjutkan dengan pemberian bantuan hidup dasar (basic life support) yang bertujuan untuk oksigenasi darurat. (AHA, 2003).
Tujuan tahap II (advance life support) adalah untuk memulai kembali sirkulasi yang spontan, sedangkan tujuan tahap III (prolonged life support) adalah pengelolaan intensif pasca resusitasi. Hasil akhir dari tindakan resusitasi akan sangat tergantung pada kecepatan dan ketepatan penolong pada tahap I dalam memberikan bantuan hidup dasar.
Tujuan utama resusitasi kardiopulmoner yaitu melindungi otak secara manual dari kekurangan oksigen, lebih baik terjadi sirkulasi walaupun dengan darah hitam daripada tidak sama sekali. Sirkulasi untuk menjamin oksigenasi yang adekuat sangat diperlukan dengan segera karena sel-sel otak menjadi lumpuh apabila oksigen ke otak terhenti selama 8 – 20 detik dan akan mati apabila oksigen terhenti selama 3 – 5 menit (Tjokronegoro, 1998). Kerusakan sel-sel otak akan menimbulkan dampak negatif berupa kecacatan atau bahkan kematian.
Tatalaksana Tindakan Resusitasi
• Penilaian Bayi
Penilaian kegawatan pada bayi dan anak yang mengalami kegawatan tidak lebih dari 30 detik yang meliputi:
1) Airway
Apakah ada obstruksi yang menghalangi jalan nafas, apakah memerlukan alat bantu jalan nafas, apakah ada cedera pada leher.
2) Breathing
Frekuensi nafas, gerak nafas, aliran udara pernafasan, warna kulit/mukosa.
3) Circulation
Frekuensi, tekanan darah, denyut sentral, perfusi kulit (capillary refilling time, suhu, mottling), perfusi serebral, reaksi kesadaran (tonus otot, mengenal, ukuran pupil, postur).


• Posisi Bayi
Untuk dapat dilakukan resusitasi jantung paru, penderita harus dibuat dalam posisi terlentang dan diusahakan satu level atau datar. Posisi untuk bayi baru lahir (neonatus) leher sedikit ekstensi, atau dengan meletakkan handuk atau selimut di bawah bahu bayi sehingga bahu terangkat 2-3 cm.
• Posisi Penolong
Penolong sebaiknya berdiri disamping penderita dalam posisi dimana ia dapat melakukan gerakan bantuan nafas dan bantuan sirkulasi tanpa harus merubah posisi tubuh.
Teknik Resusitasi
Airway : membuka jalan nafas
1) Menentukan derajat kesadaran dan kesulitan nafas.
2) Membuka jalan nafas dengan cara menengadahkan kepala dan menopang dagu (head tilt and chin lift) bila tidak terdapat cedera kepala atau leher dengan cara satu tangan pada dahi, tekan ke belakang. Jari tangan lain pada rahang bawah, dorong keluar dan ke atas. Gerakan ini akan mengangkat pangkal lidah ke atas sehingga jalan nafas terbuka. Lidah yang jatuh ke belakang sering menjadi penyebab obstruksi jalan nafas pada penderita yang tidak sadar.
3) Gerakan mendorong rahang ke bawah ke depan (jaw thrust) juga dapat membuka jalan nafas bila diketahui terdapat cedera leher atau kepala.
4) Membersihkan benda asing dapat dilakukan dengan :
(1) Finger sweep: yaitu dengan menggunakan jari telunjuk dan jari tengah penolong untuk membebaskan sumbatan jalan nafas yang diakibatkan oleh sisa makanan.
(2) Heimlich manuver
(3) Abdominal/chest thrust
(4) Suction (pengisapan): yaitu membersihkan jalan nafas dilakukan pengisapan lendir/cairan dengan menggunakan suction. Pada bayi dimulai dengan mengisap mulut terlebih dahulu kemudian bagian hidung supaya tidak terjadi aspirasi dan dilakukan tidak lebih dari 5 detik.
5) Setelah jalan nafas terbuka harus dinilai/evakuasi pernafasan dengan melihat, mendengar dan merasakan adanya hembusan nafas.
Breathing
1) Dekatkan pipi penolong pada hidung dan mulut penderita, lihat dada penderita.
2) Lihat, dengar dan rasakan pernafasan ( 5 – 10 detik).
3) Jika tidak ada nafas lakukan bantuan nafas buatan/Ventilasi Tekanan Positif (VTP) . Kebutuhan oksigen untuk ventilasi tekanan positif (VTP) adalah 30 cm H2O atau lebih untuk napas pertama, 15-20 cm H2O untuk napas selajutnya
4) Pada Neonatus dan bayi (pasang sungkup dengan posisi perlekatan yang benar).
5) Pompa balon resusitasi sebanyak 20-30 kali pompa. sambil melihat perubahan kondisi bayi.
6) Evaluasi pemberian nafas buatan dengan cara mengamati gerakan turun naik dada. Bila dada naik maka kemungkinan tekanan adekwat. Bila dada tidak naik cek kembali posisi anak, perlekatan sungkup, tekanan yang diberikan, periksa jalan nafas apakah ada mucus atau tidak bila ada dapat dilakukan penghisapan dengan suction.
7) Setelah dilakukan ventilasi selama satu menit, evaluasi apakah bayi atau anak dapat bernafas secara spontan. Lakukan penilaian pulsasi tidak boleh lebih dari 10 detik. Jika pulsasi ada dan penderita tidak bernafas, maka hanya dilakukan bantuan nafas sampai penderita bernafas spontan.
Circulation
1) Jika pulsasi tidak ada atau terjadi bradikardi maka harus dilakukan kompresi dada sehingga memberikan bantuan sirkulasi disertai bantuan nafas secara ritmik dan terkoordinasi. Pada neonatus pemberian kompresi jantung diberikan bila didapat heart rate kurang dari 60 kali per menit
2) Posisi tempat kompresi :
(1) Pada neonatus: 1 jari dibawah linea interpapilaris.
(2) Pada bayi: Sternum bagian bawah.
(3) Pada anak: 2 jari diatas prosesus xipoideus.
3) Tangan yang melakukan kompresi :
(1) Neonatus : menggunakan 2 jari tangan atau 2 ibu jari.
(2) Bayi : dengan menggunakan 2 jari.
Pada bayi baru lahir yang dilakukan tindakan resusitasi, setelah dilakukan ventilasi tekanan positif dan chest compression selama 30 detik tetapi denyut jantungnya masih kurang dari 60 kali per menit, tindakan yang harus dilakukan selanjutnya yaitu memberikan medikasi berupa epinefrin. Dosis penggunaan epinefrin pada bayi baru lahir: 0,1-0,3 ml/kg BB yang diencerkan dalam larutan 1 : 10.000 (0,01 mg-0,03 mg/kg BB). Cara pemberian : i.v (intravena) atau endotrakeal. Dapat diulang setiap 3-5 menit bila perlu.
Epinefrin adalah pemicu jantung dengan efek yang kompleks pada jantung dan pembuluh darah. Epinefrin selalu akan dapat menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah arteri dan memicu denyut dan kontraksi jantung sehingga menimbulkan tekanan darah naik seketika dan berakhir dalam waktu pendek.
Indikasi penggunaan epinefrin:
1. Henti jantung (cardiac arrest) : fibrilasi ventrikel (VF), takikardi ventrikel tanpa denyut nadi (pulseless VT), asistol, PEA (Pulseless Electrical Activity)
2. Bradikardia simtomatis
3. Hipotensi berat
4. Anafilaksis, reaksi alergi berat : kombinasi bersama sejumlah besar cairan, kortikosteroid, antihistamin

Sediaan:
Ampul 1 ml = 1 mg

Dosis dewasa dan cara pemberian
IV/IO : 1 mg diberikan/diulang setiap 3 – 5 menit
Endotrakeal : 2 – 2,5 mg (2 – 2,5 kali dosis IV/IO), dilarutkan dalam 10 ml PZ/NS
Infus kontinyu : 1 mg dilarutkan dalam 500 ml NS atau D5%, kecepatan inisial 1 µg/menit dititrasi sampai mencapai efek.



Hal yang perlu diperhatikan terhadap penggunaan epinefrin:
1. Peningkatan tekanan darah dan frekuensi nadi dapat menyebabkan iskemia miokard, angina, dan peningkatan kebutuhan oksigen miokard.
2. Dosis besar tidak meningkatkan perbaikan kesudahan (outcome) status neurologis, bahkan bisa menyebabkan disfungsi miokard post-resusitasi.

Epinefrin telah digunakan dalam beberapa dekade pada semua kelompok umur untuk perawatan cardiac arrest dan bradikardi. Walaupun panduan resmi untuk penggunaan epinefrin dalam resusitasi bayi baru lahir, bukti-bukti untuk rekomendasi ini belum diteliti dengan cermat. Meskipun diketahui bahwa bukti ini sebagian besar didapatkan dari uji coba yang dilakukan pada hewan dan kelompok manusia dewasa, kontribusi dari keberhasilan pada kelompok bayi baru lahir masih tidak jelas.
Penggunaan epinefrin mendapat tempat khusus untuk resusitasi bayi baru lahir yang mengalami kegawatan dan bradikardi yang parah. Panduan resmi untuk penggunaan epinefrin telah mendapat kesepakatan Internasional. Epinefrin digunakan sebagai rekomendasi pertama untuk resusitasi, karena dianggap paling tepat, paling aman, dan paling efektif dalam penggunaannya. Akan tetapi, dalam kenyataannya, sangat sedikit sekali fakta atau bukti yang mendukung ditetapkannya rekomendasi ini, bukti-bukti yang ada kebayakan didapatkan dari penelitian yang menggunakan uji coba hewan dan orang dewasa. Hal ini dapat menimbulkan bahaya yang serius pada penggunaan epinefrin.
Dosis epinefrin yang lebih tinggi sudah diujicoba penggunaannya pada anak-anak (Goetting, 1991) dan orang dewasa (Paradis, 1991) namun belum ada uji coba yang dilakukan pada kelompok bayi baru lahir. Studi meta-analisis untuk membandingkan pemberian epinefrin dosis tinggi dengan dosis rendah pada orang dewasa tidak menunjukkan beberapa keuntungan dengan diberikan dosis tinggi (Vandyke, 2000). Pada penelitian secara acak menunjukkan bahwa dosis epinefrin yang lebih tinggi (melebihi dosis standar) justru tidak meningkatkan angka keselamatan dan hasil neurologi. Lebih jauh lagi, dosis yang lebih tinggi akan mengakibatkan takikardi, hipertensi dan tingginya angka kematian mendadak pasca resusitasi.
Sebaiknya, penggunaan dosis epinefrin digunakan sesuai dengan kebutuhan. Sehingga mendapatkan hasil yang optimal dari pengobatan yang dilakukan.
Apabila epinefrin diberikan secara endotrakeal, level plasma darah yang diharapkan dapat tercapai meskipun terjadi efek penurunan aliran darah menuju paru-paru. Hal ini, menjadikan pemberian epinefrin secara endotrakeal kurang efektif. Penelitian tentang pemberian epinefrin secara intravena maupun endotracheal sudah direncanakan, tetapi hasil mengenai studi tersebut dalam jurnal ini belum diketahui pengaruhnya terhadap angka kematian dan angka kesakitan bayi baru lahir.
Dilihat dari kematangan usia kehamilan, pemberian epinefrin dapat menyebabkan banyak risiko tertentu yang sampai sekarang belum bisa dijelaskan. Hasilnya menyebutkan bahwa bayi preterm (bayi kurang bulan) akan lebih mudah terserang fluktuasi hemodinamik dengan penggunaan epinefrin yang berkelanjutan (Pasternak, 1983). Bayi preterm akan mudah mengalami gangguan perlukaan otak, seperti iskemik dan hipoksia setelah lahir.
Penelitian tentang penggunaan epinefrin pada bayi baru lahir dilakukan oleh Sims (1994), melakukan pengujian pada 105 bayi yang menerima epinefrin untuk resusitasi setelah kelahiran. 25 diantaranya dapat bertahan, sedangkan 9 bayi sulit untuk dilakukan follow-up. Hal ini juga dipengaruhi oleh usia gestasi yang kurang dari 28 minggu. O’Donnell (1998) yang melibatkan 78 bayi dengan dilakukan follow-up setelah kurang lebih satu tahun, 40 bayi dapat bertahan. Angka keberhasilannya sangat signifikan pada bayi aterm, yaitu 67% dibandingkan dengan bayi peterm 42%. Pada bayi dengan usia gestasi kurang dari 29 minggu, 78% diantaranya meninggal atau menunjukkan bukti gangguan pertumbuhan saraf. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Jankov (2000) yang melakukan pengujian terhadap bayi baru lahir yang berat badannya kurang dari 750 gram. Pada penelitian ini, dari 16 bayi yang mendapat CPR, 12 diantaranya juga diberikan epinefrin. Sembilan dari 16 bayi dapat bertahan dan 8 lainnya menunjukkan kecacatan saat dilakukan follow-up pada usia 2 tahun. Dalam hal ini, penggunaan epinefrin secara statistik tidak berhubungan dengan hasil studi ini.
Secara khusus, untuk bayi baru lahir yang preterm (kurang bulan) disarankan untuk dilakukan penelitian dan pengawasan lebih lanjut mengenai penggunaan obat vasopresor dalam tindakan resusitasinya. Bayi baru lahir yang preterm mempunyai potensi kegawatan lebih besar karena belum maturnya fungsi organ-organ tubuh, terutama dalam hal ini perkembangan imatur pada sistem pernafasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan pada paru-paru.
Efek samping yang terjadi akibat penggunaan epinefrin pada resusitasi bayi baru lahir antara lain :
1. Kematian - sebelum usia 28 minggu, pada saat pemberhentian, dan pada usia 12 dan 24 bulan, serta 5 tahun.
2. Kecacatan akan terjadi pada usia 12, 24 bulan dan usia 5 tahun. Kecacatan yang terjadi dapat berupa kebutaan, ketulian, cerebral palsy, dan keterlambatan pertumbuhan kognitif (ada lebih dari 2 penyimpangan pada Psychometric Test).
3. Kematian atau kecacatan pada usia 12 bulan, 24 bulan dan 5 tahun.
Selain efek samping pemberian epinefrin pada bayi baru lahir seperti yang disebutkan sebelumnya, ada beberapa efek lainnya yaitu:
1. Perdarahan intraventrikuler
2. Perdarahan intraventikuler berat (derajat III dan IV)
3. Periventikuler leukomalacia
4. Keterlambatan pertumbuhan kognitif
5. Cerebral palsy (pada usia 12 bulan, 24 bulan, dan 5 tahun)
6. Kebutaan
7. Ketulian
8. Penggunaan suplemen oksigen yang dibutuhkan tiap 28 hari
9. Penggunaan suplemen oksigen yang dibutuhkan pada 36 minggu setelah usia post menstruasi
10. Penggunaan suplemen oksigen yang dibutuhkan saat pemulihan di rumah.
11. Mekanikal ventilasi setiap hari
12. Terapi suplemen oksigen setiap hari
13. Nekrosis enterokolitis
14. Penurunan kadar keratin
15. Perawatan intensif setiap hari
16. Perawatan di rumah sakit setiap hari.
Randomised Controlled Trials (metode penelitian sampling yang dilakukan secara acak) penggunaan epinefrin untuk resusitasi bayi baru lahir tidak ditemukan, tinjauan sistematis ini tidak dapat menegakkan pernyataan “pemberian epinefrin pada bayi baru lahir yang mengalami kegawatan dan bradikardi yang parah dapat mengurangi angka kematian dan kesakitan”. Konfirmasi dari rekomendasi saat ini untuk penggunaan epinefrin dalam konteks ini hanya berdasarkan pada bukti-bukti yang didapatkan pada uji coba yang dilakukan pada hewan dan pada orang dewasa.
Strategi penelitian yang digunakan untuk tinjauan ini, memperkenalkan 3 masalah utama (efek pemberian epinefrin secara intravena vs endotrakeal terhadap angka kematian dan angka kesakitan, efek pemberian epinefrin dosis tinggi dengan dosis standar terhadap angka kematian dan angka kesakitan, serta efek epinefrin terhadap angka kematian dan angka kesakitan dengan berbagai macam usia gestasi), namun tidak ada data klinis yang mendukung 3 masalah utama tersebut.
Dalam memberikan rekomendasi untuk penanganan medis, sebaiknya harus didukung dengan evidence based. Dalam hal ini, bukti yang mendukung masih sangat kurang seperti yang disebutkan dalam jurnal yang diterbitkan oleh The Cochrane Library, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang penggunaan epinefrin untuk resusitasi pada bayi baru lahir yang mengalami kegawatan dan bradikardi yang parah. Disarankan, penelitian tersebut dilakukan untuk menemukan obat alternatif lain yang lebih aman penggunaannya dan mempunyai efek samping yang minimal dibandingkan dengan epinefrin. Hasil dari penelitian tersebut sebaiknya juga dipublikasikan secara jelas, sehingga bisa diketahui oleh orang banyak. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya informasi yang simpang-siur. Pengambilan keputusan pemilihan obat untuk medikasi hendaknya juga harus memperhatikan studi klinis yang telah dilakukan, dan diharapkan juga relevan antara praktik dengan penelitian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar